Sabtu, 23 April 2011

“Demokrasi vis-a-vis Liberalisme?”

“Many forms of Government have been tried, and will be tried in this world of sin and woe. No one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time.”

Winston Churchill (1947)


Apa kabar demokrasi? Atau apa kabar kebebasan? Siapa yang kuasa memisahkan bangunan demokrasi dengan ruang kebebasan? Ya, kebebasan yang tidak mensyaratkan kebebasan sebebas-bebasnya, kebebasan individu yang dibatasi oleh kebebasan individu lainnya dan kebebasan yang menghendaki tidak saling mencederai. Meminjam istilah Masdar Hilmy, konsep tersebut adalah benar secara normatif, tetapi tidak jarang problematis di tingkat praksis-aplikatif. Persoalannya, domain kebebasan dan batasan-batasannya dalam praktik demokrasi tidak memiliki ukuran dan standar yang baku, jelas dan terukur; jelasa menurut ukuran siapa? Pada kenyataannya, ukuran-ukuran kebebasan dan batasan sering dibuat sendiri oleh individu dan atau kelompok yang memiliki kuasa atau dekat dengan sumber-sumber kuasa.

Salah satu contoh sederhana “kekisruhan” kebebasan ala kekuasaan ini sebagaimana Lutfi Assyaukanie (2006) mengungkapkan kegeramannya menyikapi tulisan Syaiful Mujani dan Ismail Yusanto pada salah satu surat kabar nasional (12-14/06) yang keduanya tengah mengangkat topik demokrasi. Dari dua tulisan tersebut Lutfi berkelakar demokrasi telah menjadi konsep karet yang bisa ditarik ke sana ke mari. Setiap orang bisa berbicara tentang demokrasi menurut perspektifnya masing-masing.

Sejatinya demokrasi merupakan salah satu model, bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Terkait sistem pemerintahan ini Polybius mengajukan teori perputaran atau siklus macam bentuk pemerintahan. Pemerintahan suatu negara didiskripsikan seperti peristiwa sunnah alam yang terus berputar mengikuti pola thesis-antithesis-sintesa ala Hegel (teori dialektika).

Polybius berpendapat bahwa pemerintahan negara umumnya diawali dengan model monarki. Pada prosesnya monarki menemukan antithesisnya dan muncul sintesa model tirani. Tirani digantikan aristokrasi menuju pemerintahan oligarki dan pada saatnya sampai pada model demokrasi. Demokrasi pun pada akhirnya tidak bisa lepas dari antithesisnya yang dilanjutkan dengan bentuk oklokrasi atau mobokrasi. Sebagaimana teori Polybius ini menjelaskan, mobokrasi akan kembali pada bentuk awal, yakni monarki dan begitu seterusnya siklus ini akan terus berputar. Namun demikian, Winston Churcill paska-berakhirnya masa PD II menegaskan, demokrasi memang bukanlah sistem pemerintahan negara yang terbaik, setidaknya lebih baik di antara macam model pemerintahan sebagaimana yang digambarkan oleh Polybius tersebut.

Lalu, bagaimana dengan demokrasi di Indonesia? Ada apa dengan demokrasi di Indonesia? Menilik fakta sejarah, paska-kemerdekaan Soekarno telah memperkenalkan ide demokrasi terpimpin yang sebelumnya didahului dengan masa “coba-coba” pelaksanaan demokrasi liberal (era jatuh-bangun parlementer). Masih semasa Soerkarno, Natsir juga pernah menyodorkan gagasan kebangsaan akan konsep demokrasi Islam. Tidak mau kalah, Soeharto tidak luput turut bersikukuh menyebut Indonesia era hegemoninya sebagai negara yang menjunjung tinggi “statuta” demokrasi.

Begitulah alam demokrasi, seperti kebanyakan orang bilang, setiap orang bebas mengklaim sesuatu atas dasar sesuatu. Konsep-konsep demokrasi seperti ini, oleh David Collier dan Steven Levitsky disebut sebagai “demokrasi dengan kata sifat,” yang ujung-ujungnya hanya menekankan kata sifatnya, ketimbang demokrasinya (Collier and Levitsky, “Democracy with Adjectives: Conceptual Innovation in Comparative Research,” World Politics 49.3, 1997).

Dari kerangka pemikiran tersebut, menyoal aplikasi konsep demokrasi di Indonesia yang dekat dengan substansi demokrasi yang sebenarnya, tidak berlebihan bila kita mereduksi catatan sejarah demokrasi Indonesia lebih pada awal kemunculan reformasi, yakni era 1998-sekarang. Beberapa catatan menarik, dalam bingkai reformasi yang telah memasuki usia kurang lebih 1/8 abad, perjalanan praksis demokrasi pun tidak sepi dari perdebatan-perdebatan menyoal redefinisi, proses, sasaran bahkan resistansi sebagai suatu ideologi untuk digantikan ideologi lain sebagai suatu alternatif.

Gejolak masyarakat yang mulai jenuh terhadap “birokrasi” demokrasi (procedural democracy) dan serasa tidak kunjung dekat menyentuh sisi substansi secara massal di mana efek demokrasi hanya menjadi milik eksklusif beberapa kelompok penguasa atau komunitas yang dekat dengan akses sumber kekuasaan, maka saat ini pula perangkat demokrasi memberikan ruang luas yang memungkinkan masyarakat menggugat atau mengajukan mosi tidak percaya terhadap konsep demokrasi. Fakta menarik lainnya, tidak sedikit masyarakat yang cenderung alergi menyikapi konsep liberalisme.

Sebaliknya, asal usul demokrasi disebutkan justru lahir dari “rahim” liberalisme. Pokok-pokok liberalisme yang menyangkut tiga hal mendasar yakni: kehidupan, kebebasan dan hak milik (life, liberty and property) memungkinkan demokrasi tumbuh dan berkembang dari konsep liberalisme. Kemunculan liberalisme klasik pada awal abad ke-16 menjadi sejarah penjelas lahirnya demokrasi yang merupakan manifestasi afiliasi liberalisme dalam ranah politik.

0 komentar:

Posting Komentar