Selasa, 03 Mei 2011

AUTIS


Apa yang terlintas dalam benak kita ketika terlontar kata autis? Difabel (difference ability) atau anak-anak? Tentu dua contoh ini jauh dari kata cukup untuk mewakili beragam opini lainnya. Sebagai pertimbangan, Wikipedia menyebutkan autis atau autisme sebagai suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun semasa balita, yang membuat dirinya mempunyai kelemahan dalam membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal (untuk penjelasan lebih komprehensif baca: autisme-Wikipedia bahasa Indonesia).
Ada yang menarik di luar batas ruang definisi seperti yang disebutkan Wikipedia mengenai autisme. Oleh masyarakat Indonesia yang familiar dan akhirnya cukup popular kreatif dalam “mempermainkan” kata-kata, autisme tidak luput dari aktifitas tersebut. Alhasil, autisme alami perubahan makna. Autisme dipaksa menjadi luas maknanya tidak terbatas pada sekat anak-anak, melainkan juga remaja, pemuda, bahkan orang dewasa dengan penekanan pada indikasi kegagalan dalam membentuk hubungan sosial atau komunikasi sosial.
Bermula dari seorang kawan yang asyik mengutak-atik gadget telepon genggamnya yang dengan itu perhatiannya hanya tertuju pada ‘kehidupan’ gadget yang tengah ia genggam. Tanpa ragu, kawan yang menjadi lawan bicaranya mengganjarnya dengan sebutan, “Kamu autis, ya!”. Kata autis dipilih dengan pertimbangan ia mengalami kegagalan berkomunikasi sosial yang diperlihatkan dengan konsentrasi yang tidak seruang dengan lokasi di mana ia berada. Dalam hal ini, ia justru tidak mengikuti alur pembicaraan orang yang menjadi lawan bicaranya.
Seolah wabah ulat bulu yang terus menggeliat, perluasan pemaknaan istilah autis ini semakin menggejala. Terutama akan mudah ditemukan dalam pola komunikasi pop kalangan muda. Tidak menutup kemungkinan instrumennya pun lebih longgar mengacu pada setiap gadget -tidak hanya hp- yang dengan gadget itu menyebabkan seseorang menjadi terasing pada situasi dan kondisi di mana ia berposisi. Korelasinya dengan dampak turunan fenomena gadget, khususnya untuk piranti komunikasi hal ini semakin mempertegas realitas mendekatkan yang jauh sebaliknya, menjauhkan yang dekat.
Bagaimana dengan Anda, atau kita? Jangan-jangan kita sendiri adalah…..(aha, silahkan diteruskan sendiri). Seyogianya kita deteksi diri untuk mulai sadari perilaku hidup sehat dengan gadget, atau kita siap-siap dikucilkan dari dunia kenyataan. Gawat, bahkan lebih gawat dari pada Pak Gawat, satu lagi, kita kecolongan fakta di depan kasat mata. Selanjutnya, pilihan berpulang pada kita. Salam.


0 komentar:

Posting Komentar