Selasa, 03 Mei 2011

“Menggugat Mens Sana in Corpore Sano”


Kamis ini (28/4), Saldi Isra salah seorang ahli Hukum Tata Negara Indonesia kembali menuangkan pemikirannya lewat media kompas cetak, “Mengorupsi Olahraga”. Kali ini, tulisan Guru Besar Universitas Andalas, Padang ini disengajakan untuk meneropong kasus korupsi yang tengah menyambangi Korps Kementrian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia pimpinan mantan juru bicara Presiden SBY masa pemerintahan KIB I, Andi Alfian Mallarangeng.
Sebagaimana santer diberitakan di banyak media massa dalam beberapa hari terakhir, KPK berhasil mengakhiri konspirasi korupsi Wafid Muharam yang notebene berposisi sebagai Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga, Kamis (24/4). Benar saja, selang beberapa hari di ruang kerjanya, penyidik KPK menemukan barang bukti tidak kurang dari cek senilai Rp. 3,2 miliar, uang tunai 128.148 dollar AS, 13.070 dollar Australia, 1.955 euro, dan Rp. 73,171 juta (Kompas, 26/4). Praktis, Wafid semakin dekat dengan indikasi korupsi pembangunan infrastruktur dalam rangka penyiapan penyelenggaraan SEA Games XXVI/ 2011 di Palembang.
Masih dalam artikel ini, Saldi Isra mengawalinya dengan petuah popular dalam dunia olahraga, “mens sana in corpore sano”. Dari negeri asalnya, semestinya petuah universal ini bermakna, “dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”, begitu halnya yang dituangkan dalam artikel ini. Hanya, fenomena berseberangan justru tampil menegasikan makna baku yang sesungguhnya.
Faktanya, petuah apik yang menjadi symbol spirit dunia olahraga (dan idealnya diinternalisasi oleh penyelenggara oahraga) ini diejawantahkan secara berkebalikan oleh salah seorang awak institusi Pemuda dan Olahraga dengan diduga kuat menjadi pelaku korupsi. Nampaknya, dalam tubuh sehat yang dimiliki Wafid Muharam tidak dibarengi dengan “jiwa yang sehat”. Karena, dalam pedoman penilaian umum, tentu jiwa yang sehat tidak menyediakan ruang bagi segala macam bentuk praktik korupsi.
Memperkuat pertimbangan, saya kembali teringat dengan penegasan yang disampaikan oleh guru mata pelajaran Penjaskes (pendidikan jasmani dan kesehatan) tiga belas tahun silam, tepatnya ketika masih melewati tahap dasar sekolah. Tidak bosan bapak guru berpesan agar kita rajin berolahraga demi tubuh yang sehat untuk kemudian (secara otomatis) mendapati jiwa yang sehat.
Akan tetapi, enam tahun kemudian ketika berada di kelas Aqidah Ahlaq, guru pengampu menyodorkan satu pertanyaan “tabu” meragukan kebenaran makna petuah mens sana in corpore sano. Kalau memang pada setiap tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, bagaimana konsep tersebut menerangkan perilaku seorang maling? Bukankah sepatutnya kita mengiyakan logika seorang maling yang melaksanakan aktifitas malingnya ketika tubuh dalam kondisi yang sehat wal afiyat. Sementara, kita mafhum perilaku maling jauh bertentangan dengan pemaknaan prinsip jiwa yang sehat.
Tidak ada tendensi untuk mencipta provokasi, melainkan sekedar mengajak untuk meninjau kembali kebenaran mutlak dari petuah mens sana in corpore sano, bahwa fakta yang ada tidak selamanya tubuh yang sehat diamini dengan jiwa yang sehat. Meminjam istilah Wisnu Nugroho, menyoal hal tidak penting agar yang penting menjadi semakin penting, demikian halnya dengan risalah ini yang tentu tidak sepenting dengan substansi “dugaan” (memperhatikan etika praduga tidak bersalah) korupsi dalam tubuh Kemenpora yang dikemukakan oleh Saldi Isra.
Pun dengan istilah asal usul kalau asal tidak boleh usul dan kalau usul tidak boleh asal, semoga artikel sederhana ini tidak asal usul dalam “menggugat” (makna) mens sana in corpore sano. Kecuali ia bermakna persuasi, bukan makna pasti. Salam.


0 komentar:

Posting Komentar